Malam ini, semua tampak lebih pucat. Aku sudah melakukan banyak hal sendirian, melatih kemandirian. Mungkin, kamu akan terkejut melihat perubahanku, aku sudah berbeda sekarang. Atau kalau boleh dibilang, bukan hanya aku, kamu juga berbeda sekarang. Seiring waktu berjalan, semua berubah tanpa persetujuan kita. Tiba-tiba saja aku sudah menjadi seperti ini dan kamu sudah tak lagi di sini.
Akhirnya, ya memang akhirnya, karena tak ada lagi yang terulang. Hari-hari yang dulu aku dan kamu lalui bercanda dan tertawa walau hanya via seluler, seperti kebahagiaan yg sederhana dan amat aku rindukan. Tetapi berbeda dengan sekarang, Realita berbicara lebih banyak, sementara aku dilarang untuk bermimpi terlalu jauh, apalagi mengharap semua yang telah terjadi bisa terulang kembali. Jika dulu kita begitu manis, entah mengapa sekarang berubah jadi miris. Memang hanya persepsiku saja yang melebih-lebihkan segalanya, mengingat perpisahan kita dulu terjadi tanpa sebab, sulit ditebak, sampai aku muak mencari-cari yang kurasa tak pernah hilang.
Begitu banyak mimpi yang ingin kita wujudkan, kita ceritakan dengan sangat rapi dalam setiap bisikan malam, adakah peristiwa itu masih tersimpan dalam ingatanmu? Aku berusaha menerima, kita semakin dewasa dan semakin berubah dan segalanya. Tapi, salahkah jika kuinginkan kamu duduk di sini, mendekapku sebentar dan kembali menceritakan mimpi-mimpi kita yang lebih dulu rapuh sebelum sempat terwujudkan?
Aku sudah berusaha untuk bernapas tanpamu, nampaknya semua berhasil dan berjalan dengan baik-baik saja. Tapi, di luar dugaanku, setiap malam-malam begini, kamu sering kembali dalam ingatan, berkeliaran. Pikiranku masih ingin menjadikanmu sebagai topik utama, dan hatiku masih membiarkanmu berdiam lama-lama di sana. Aneh memang jika aku sering memikirkan kamu yang tak pernah memikirkanku. Menyakitkan memang jika harus terus mendewakan kenangan hanya karena masa lalu terlalu kuat untuk dihancurkan.
Beginilah kita sekarang, Cinta. Tak lagi saling bersapa, tak lagi saling bertukar kabar. Semua seperti dulu, ketika kita tak saling mengenal, segalanya terasa asing. Kosong. Apapun yang kita lakukan dulu seperti terhapus begitu saja oleh masa, hari berganti minggu, minggu segera beranjak menuju bulan, sejak saat itu juga aku tak mengerti dengan kehidupanmu yang sekarang.
Kalau ada waktu, sering-sering cerita tentang bisul goreng dan jerawat pemanis wajahmu yg pernah hidup dalam cerita kita. sudah sebesar apa mereka? Siapa yang merawat mereka?
Aku punya kejutan untukmu, lingkar pinggangku sudah tak selebar dulu dan wajah riangku sudah tak seranum dulu. Aku kelelahan mengharap perhatianmu yang tak kunjung datang. Adakah kejutan yang akan kautunjukkan padaku, selain cerita tentang pacar barumu?
Kemana sosok dirimu yang dulu? Kamu yang hari ini berbeda dengan kamu yang 5 tahun yang lalu. Dulu, kamu masih laki-laki pemalu dan pendiam yang senang bermain layangan di sekitar rumahmu. Dulu, aku hanyalah perempuan lugu yang senang memancing kepiting tanah yg aku anggap unik di sekitar puskesmas dekat rumahmu. Aku masih ingat, itu pertemuan pertama kita walau kita abaikan saat itu. Kita berada di satu tempat, tapi kita disibukan dengan dunia kita masing-masing. Keadaan itulah yg seolah-olah membuatku dejavu terhadap keadaan kita saat ini. Kita berproses dalam waktu, bertambah dewasa dalam takdir yang kita tekuni, semua sudah berbeda dan tak lagi sama.
Apakah kamu masih menjadi laki-laki dengan senyum manis yang seringkali kucuri keindahannya, dengan diam-diam menatapmu? Apakah kamu masih orang yang sama, pria dengan sikap sederhana yang mampu melayangkan setiap bayang-bayang menjadi kebahagiaan yang mengalir pelan? Ceritakan padaku, apa yang kaualami setelah perpisahan kita? Kebahagiaan yang berlipat-lipatkah? Aku yakin, kamu selalu bahagia, karena kebahagiaanmu masih sering kurapal dalam doa.
Kita sudah lama tak saling bertatap mata, tapi aku tak pernah lupa sinar matamu ketika menatapku dengan lugu. Aku tak bisa melupakan senyummu yang seringkali membuatku bertanya-tanya, tak ada diksi yang pas untuk mengungkapkan perasaanku dulu. Mungkin, kamu masih ingat, kita dulu masih sangat kecil untuk berbicara dan berbincang tentang cinta. Karena hatimu dan hatiku belum siap memahami yang telah terjadi saat itu, kita menjalani banyak perasaan yang terkesan maya tapi terasa begitu nyata. Setiap pertemuan adalah goresan baru dalam kertas putih, aku berharap tak ada penghapus yang mampu menghilangkan hari-hari menyenangkan yang pernah kita lalui dulu.
Kamu mengajarkanku banyak rasa. Dari rasa canggung, malu, bingung, berbohong pada perasaan sendiri, memendam, dan enggan banyak berkomentar. Sosokmulah yang telah memacu aku bercerita lewat puisi, puisi pertamaku bercerita tentang hal sederhana yang kita lewati haha puisinya jelek. Pemilihan katanya masih begitu berantakan. Aku hampir lupa bagaimana rasanya bangun pagi dengan membaca puisi darimu di inbox handphone Nokia 6600 kuno ku? Masihkah bisa terulang? Aku selalu mendambakan saat itu tiba (lagi). Sayang semua hanya harapan dan kenangan yang tak bisa terulang. Semua seperti mimpi yang sulit diputar ulang kembali. Seandainya hidup adalah kaset, aku ingin terus kembali memainkan lagu yang sama, lagu yang terdengar indah dan mesra... saat-saat keluguaan kita membiarkan cinta ada dan bertumbuh.
Dulu, aku tak pernah berpikir untuk memperjuangkan kamu. Aku hanya tahu, kalau perasaanku begitu unik dan menyenangkan. Kamulah yang pertama kali membuat hatiku tergoncang. Aku masih ingat betul, saat kita berjalan di lorong-lorong Jalan Siswa sepulang sekolah, beriringan dan sela-sela jemariku terisi penuh oleh jemarimu. Lalu kita berhenti sejenak untuk sekedar berlama-lama dalam kebersamaan di gudang yang menjadi saksi bisu kenangan kita. Gudang H. Ambo Aming. Bagaimana keadaan gudang itu? Terbengkalaikah, layaknya perasaan antara kita saat ini? Mungkin tempat-tempat yang kita kunjungi bersama sekarang sudah banyak berubah. Begitu juga aku dan kamu yang banyak berubah. Tapi tidak dengan perasaanku. Entah mengapa aku tak bisa melupakan kenangan yang sudah lebih dulu terjadi. Di balik ingatan yang ada, menyakitkan memang jika aku selalu mengingat banyak hal yang tak sepenuhnya dapat terulang kembali.
Kita sudah sangat lama tak bertemu, bagaimanakah wajahmu? Masihkah tatapanmu lembut seperti dulu? Apakah suaramu masih hangat dan tawa renyahmu masih begitu menyejukkan?
"Saat-saat yang indah. Saat masih bersamamu waktu kita berdua dan mewarnai dunia. Semua yang telah berlalu kini teringat lagi. Kini terkenang lagi. Ku ingin kembali... Ku ingin kembali...." beberapa bait lirik lagu dari Rama band yang terkadang membuatku teramat sangat merindukan "waktu dulu" dan "kamu yang dulu". Entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. Aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. Namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. Ini tentang kita.
Kalau boleh aku jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku. Seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. Sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin, tertiup jauh namun mungkin akan kembali. Aku tak berusaha menyentuh bayang-bayangmu yang samar, dan mereka-reka senyummu yang mungkin tak seindah dulu. Tapi ketahuilah saat ini
Aku merindukanmu. Apakah kamu juga begitu?
Setiap abjad yang tersusun dalam kata terangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada di sana, berdiam dalam tulisan yang sebenarnya tak dapat ku definisikan lagi. Ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. Kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menunduk, mencoba tak memedulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.
Tentu saja, kamu tak merasakan apa yang kurasakan, juga tak memiliki rindu yang tersimpan rapat-rapat.
Dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tak tahu harus disebut apa. Tapi, katamu, masih ada "rasa yg dulu" ketika kita kembali berdekatan. Terlalu tololkah jika kusebut belahan jiwa? Keterikatan aku dan kamu tak ada dalam status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita, miliki denyut dan detak yang sama.
Hahaha Tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui. Sejak kabarmu tak lagi di sini, sejak aku sering bermain dengan rindu dalam sepi, semua terlalu sulit untuk dipungkiri.